Jumat, 18 November 2011

Hingga Paragraf Terakhir






Kumasuki kamar yang sudah lama tak kukunjungi itu. Kuhidupkan lampu. Kubuka jendela kamarnya. Terlihat senja sedang bersenandung. Cahaya matahari tengah membiaskan lembayung ke seluruh penjuru langit. Teduh. Sang bayu yang hadir setelah hujan turun membuat dunia seakan berwarna kuning keemasan. Cahaya kuning keemasan itu menyepuh rumah-rumah, pepohonan, jalanan, serta dinding-dinding gedung tinggi perkotaan. Sungguh suasana yang menakjubkan. Di balik jendela ini, kusaksikan Kebesaran Allah yang tergambar dalam ayat kauniah-Nya ketika senja. Maha Suci Engkau...


Perlahan kuadahkan pandangan ke seisi kamar. Kosong. Sudut-sudut kamar menyimpan sisa-sisa kenangan masa itu. Sejenak, aku berpindah ke dekat meja. Disana tersusun buku-buku miliknya; buku pelajaran, novel, catatan, dan lain-lain. Di atas meja itu ada juga sebuah foto gambar dirinya. Manis sekali. Aku jadi teringat foto ini diambil ketika ia baru berhijrah mengenakan jilbab. Di kamar milik adikku ini, perlahan deru kenangan mengumandang. Seakan ada simfoni yang bernyanyi, yang lantas seketika membuat sejuta ingatan hadir disini.


Kubuka laci di meja tersebut. Ada tumpukan buku dan kotak musik di dalamnya. Kuambil beberapa buku itu, ternyata ada sebuah diary. Ya, diary milik adikku itu. Perlahan kuambil diary itu, kubersihkan debunya, dan lantas ku membacanya...


Masih ingat waktu pertama kali memakai jilbab? Hehe, kalo aku ditanya tentu aku ingat. Pertama kalinya aku pakai jilbab adalah tepat tanggal 17 September. Aku memutuskan untuk mengenakan jilbab ketika aku baru naik kelas XI SMA. Adalah hal yang rumit kujawab jika ada yang bertanya kenapa aku memakai jilbab. Karena, keputusanku memakai jilbab adalah antara keterpaksaan dan tuntutan. Boleh dibilang mungkin aku kurang ikhlas berhijrah memakai jilbab. Bahkan ada bisikan dalam hatiku bahwa aku hanya ikut-ikutan tren jaman sekarang.


Aku jadi teringat wajah ayah dan ibu yang begitu setuju jika aku lekas mengenakan jilbab. Hah, kuhela nafas panjang. Kucoba untuk buang jauh-jauh rasa keterpaksaan dan ketidakikhlasan. Dengan berusaha agar hati bisa berniat baik, kuucapkan Bismillah... mudah-mudahan tekadku berhijab berbuah keindahan suatu saat nanti.


Hari pertama kukenakan jilbab itu akhirnya tiba. Kusongsong pagi dengan senyuman lebar. Kuharap hari ini menyenangkan sebagai langkah awal untuk hari baru di kehidupanku. Kulangkahkan kaki menuju sekolah. Udara pagi terasa sejuk menerpa hati. Kurapikan jilbab yang terkibar oleh angin. Cahaya mentari pagi menyambutku dengan keakraban dan penuh kehangatan.


Namun hari menyenangkan yang kuharapkan sekejap sirna. Temanku si Bobi yang jahil itu menarik jilbabku hingga copot. Sebelumnya Bobi memang adalah teman sejahilan denganku. Aku yang dulu tomboy dan suka bercanda dengannya mungkin baginya masih bisa diajak heboh seperti dulu. Dia cengengesan setelah menjahiliku. Sejadinya aku langsung menangis di meja kelasku. Dalam hati aku merintih, "Hiks... kok ada ya orang yang kayak gitu? Aku ini baru belajar pakai jilbab, tapi udah dijahilin dengan keterlaluan. Hiks..."


Masih di hari yang sama. Jam istirahat kedua pun tiba. Tapi aku tidak ke kanti seperti biasanya. Yang kulakukan ialah berdiam di dalam kelas. Aku masih kepikiran yang dilakukan Bobi tadi padaku.


Perlahan ada seseorang yang mendekatiku. Ia lantas membangunkan lamunanku. Ternyata dia Rio, pacarku. Kuhapus wajah cemberutku dan lantas tersenyum padanya 


"Dari mana? Kok baru keliatan?" Ujarku dengan senyum.
Dia hanya diam.
"Abis dari perpus ya?" lanjutku.
Dia tetap diam.
"Queen, kita putus ya..." ucapnya lirih, namun seakan meledakkan seisi hatiku. Mataku mulai berkaca.
"Kenapa? Salah aku apa, King?" dan air mataku mulai tumpah.
"Aku ngga mau nyakitin kamu, Queen. Aku mau hubungan kita berakhir sekarang. Maafkan aku ya..."


Dia lantas meninggalkanku sendiri. Tiada angin serta hujan, tiba-tiba ia memutuskan aku. Perasaanku hancur berkeping-keping. Layaknya benda yang terkena sambaran petir. Kekasihku pergi. Padahal aku sungguh masih sangat sayang padanya. Aku cinta padanya. Tapi kenapa kasih sayangku selama ini jadi percuma? Ingin rasanya aku berteriak setinggi langit mengapa cinta itu tak adil? Mengapa cinta itu tak adil???


Air mataku terus meleleh basahi jilbab.


Usai sekolah berakhir aku pulang ke rumah dengan tertunduk lesu. Sesampai di rumah aku langsung ke kamarku. Aku ingin menyendiri. Ah, hari ini benar-benar hari yang mengecewakan. Pertama, aku dipermalukan oleh Bobi yang menarik jilbabku hingga lepas. Kedua, aku diputusin oleh kekasihku tanpa alasan. Semua ini terjadi apa karena aku mengenakan jilbab? Apa karena aku jelek memakai jilbab lantas aku kehilangan orang yang aku cintai? Apa karena aku ini tak pantas memakai jilbab hingga orang-orang mempermalukanku seperti itu? Apa karena jilbab?


Perlahan air mataku meleleh lagi, teringat wajah kekasihku yang menyejukkan itu, kebaikannya, kenangan bersamanya, semua tentangnya yang buatku bisa mewarnai dunia dengan senyumanku karenanya. Sungguh aku masih sangat mencintainya... Oh Tuhan, aku tak ingin dia pergi, aku sungguh menyayanginya tiada tepi...


Sore harinya kakakku menegurku. Sepertinya dia bisa melihat adanya kesedihan di raut wajahku.


"Cieee... dedek kecil sekarang udah pake jilbab..." goda kakakku.
Aku hanya cemberut dan diam saja.
"Kok malah diem sih? Lagi sedih ya?"
Aku masih tetap diam.
"Aha, pasti lagi diputusin sama cowoknya ya..." ujar kakakku enteng.
Aku tetap diam, namun sungai dipelupuk mataku yang berbicara. Aku langsung menangis.
"Hey hey hey, kok malah nangis? Kakak salah ngomong ya? Kakak cuma nebak-nebak dan becanda. Kakak cuma kuatir aja ngeliat adek kakak keliatannya sedih. Curhat geh ke kakak kalo ada sesuatu..."
Kuhapus air mataku dan kuberikan senyum untuk kakakku satu-satunya itu.
"Nah gitu dong. Masak udah dewasa masih cengeng?" katanya sambil membalas senyumku.


Aku ceritakan semua masalahku pada kakak. Kuceritakan apa yang membuatku menangis. Dan kuceritakan segala yang terjadi padaku di hari ini. Kakak lah tempat curhat terbaikku di seluruh dunia. Aku sayang padanya.


"Pake jilbab itu artinya bukan cuma kita meninggalkan pakaian dulu dan mengganti dengan pakaian yang menutup aurat doang. Hijrah itu perjuangan. Kita yang tadinya dikenal suka heboh, harus bisa nunjukkin bahwa kita itu santun. Konsekuensinya berjilbab itu harus berubah total sikap dan hati jadi lebih baik lagi, lebih bijaksana, dan lebih murah hati. Dinda harus bisa ya. Dinda mau kan jadi perempuan yang tidak hanya baik busananya tapi baik juga hatinya?"
"Iya Dinda mau, Kak." ujarku singkat. Kemudian seraya menghapus tangisku Kakak berkata,
"Jadi, mulai sekarang ikhlasin ya pakai jilbabnya. Dinda jangan sedih dengan yang sudah dipilih untuk menjadi lebih baik. Ngapain kita harus gundah kalau itu buat kita jadi lebih dewasa. Ngapain kita bersedih untuk jadi lebih baik."
Jeda. Kakak kembali bicara,
"Gimana rasanya diputusin?" tanya kakak.
"Sakit, Kak."
"Kakak bukannya nggak mau pacaran, andai pacaran itu nggak sakit pasti kakak mau juga pacaran. Hehe..." jeda. "Soal Dinda sekarang yang lagi sakit hati, jangan buat Dinda jadi nggak semangat. Dinda jangan ragu karena cinta seperti itu adalah semu. Cinta yang sejati itu nggak pernah menyakiti. Cinta yang sempurna itu selalu membuat bahagia. Itulah cinta seorang hamba dengan Tuhannya... Cinta illahi, Dinda..."


Begitulah adanya kakakku. Ia selalu memberi nasihat berharga untuk memotivasi adiknya. Hari demi hari berlalu. Aku mulai terbiasa mengenakan jilbab tiap ke sekolah. Suatu hari kakak bilang,


"Dinda cantik lho kalo di rumah pakai jilbab juga."
Aku mengernyitkan dahi. Kakak sepertinya sedang menyindirku secara halus. "Kok gitu kak?" tanyaku.
"Iyalah. Kakak ini mau juga ngeliat Dinda cantik. Masak orang-orang di luar dan di sekolah Dinda kasih liat cantiknya Dinda, tapi di rumah sendiri nggak Dinda kasih. Kan nggak adil."


Ah, gara-gara sindiran yang menggoda itu membuat aku jadi selalu mengenakan jilbab di mana saja. Di sekolah, di tempat umum, dan di rumah kukenakan jilbab ini. Kemana aku pergi selalu kupakai jilbab ini.


Di suatu hari, kakak kembali menggodaku,.
"Dinda kakak perhatiin jilbabnya kok yang kayak begitu terus ya?" tanya kakak.
"Kayak begitu gimana, Kak?"
"Itu lho. Kok suka banget pake jilbab instan?"
"Kan simpel kak, biar nggak repot." jeda. "Kenapa? Nggak boleh ya, Kak, ya?" lanjutku.
"Ya boleh lah. Siapa yang melarang. Cuma kayaknya Dinda bakal seribu kali lebih cantik kalo jilbabnya pake yang segiempat. Hmmn, pasti deh malaikat bisa jatuh cinta."
"Ah, kakak ini bisaan ngodain Dinda terus..."
"Eh tapi ini serius. Orang yang pake jilbab segiempat itu lebih cantik dari yang pake jilbab instan."
"Uuuuh, jilbab segiempat kan ribet." keluhku.
"Lho, bukannya cewek itu senengnya yang ribet-ribet? Tuh buktinya banyak cewek yang rela ribet ini itu biar diliat lebih cantik. Bahkan ada yang rela operasi plastik, suntik silikon, dan lain-lain. Nah lho..."
"Iya juga ya..." kataku mengiyakan. Ucapan kaka ada benarnya.
"Makanya, masak untuk lebih cantik lagi nggak mau sedikit ribet. Nih ya, kalo Dinda nggak percaya, Dinda boleh tanya ke semua cowok-cowok, tanyain ke mereka mana yang lebih bagus, pakai jilbab segiempat atau instan. Kakak jamin semua laki-laki lebih suka ngeliat cewek yang pakai jilbab segiempat. Kakak mewakili kaum lelaki mengeluarkan fatwa, bahwa sesungguhnya jilbab segiempat bisa membuat perempuan seribu kali lebih cantik... Hehe..."
"Iiiih, Kakak lebay deh."


Sejak itu aku jadi lebih suka mengenakan jilbab seperti yang disarankan kakak. Jilbab instan kupakai sewaktu-waktu saja. Aku semakin sayang dengan kakakku. Ia hadir sebagai pencerah dan pemberi kebahagiaan hidupku. Yang kusuka dari kakak adalah nasihatnya yang tidak serta merta menyuruh sesuatu dengan paksa, melainkan secara perlahan satu demi satu. Jika satu hal sudah berhasil dilewati, maka baru ia akan melanjutkan perintah nasihat yang lain.


Di suatu hari kakak menggodaku lagi. Uuh, dasar kakak yang nakal. Hehe...


"Jilbab biru muda, baju light-orange bergaris pink, dan rok putih. Ah, ada Bidadari di depan mata kakak. Dinda kayaknya lebih anggun deh hari ini..." ujar kakak sambil tersenyum.
"Anggun? Emang ada yang beda tah, Kak?" tanyaku.
"Ada dong yang beda. Biasanya kan Dinda suka pake celana jeans. Kakak pikir, Dinda seribu kali lebih anggun deh kalo pakai rok dibanding pake celana jeans."
"Ah kakak ini, kemaren seribu kali lebih cantik, sekarang seribu kali lebih anggun. Hehe..."
"Tapi beneran lho... Kalo nggak percaya Dinda ngaca aja di cermin, kira-kira lebih anggun pakai celana atau rok? Kalau pakai rok kelihatannya lebih sopan, kan?!"
"Iya sih kak, tapi..."
"Tapi ribet?" kata kakak menyerobot ucapanku.
"Tapi Dinda kan rok cuma ada sedikit."
"Oooh, ya udah besok kakak kasih uang buat kamu beli rok yah?"
"Cihuy... makasih ya, Kak!" senyumku mengembang.


Sejak semua hal itu kulalui aku tak terpaksa lagi mengenakan jilbab. Aku benar-benar ikhlas memakai hijab sebagai busana kebesaran kaum perempuan. Aku mencintai jilbab sebagimana aku mencintai Syurga. Dari kakakku, aku diajari sifat kelembutan, aku diajari sifat keanggunan, dan aku diajari betapa indahnya hidup dalam balutan jilbab.


Duhai Allah, saksikanlah bahwa aku tulus mematuhi perintah-Mu. Saksikanlah bahwa aku ridho menutup aurat di manapun aku berada. Saksikanlah bahwa aku ikhlas mengenakan jilbab sebagai busana terbaikku... Amin!


Kututup diary itu. Telah kubaca semuanya hingga paragraf terakhir. Perlahan air mataku menetes. Kulihat seisi kamar, yang ada hanyalah kosong. Tiada lagi senyuman Bidadari anggun di rumah ini. Tiada lagi sosok ceria yang mengisi kamar ini. Dan tiada lagi wajah manis yang senantiasa memakai jilbab segiempat itu.


Aku jadi teringat kejadian sembilan bulan yang lalu. Dinda yang sedang menaiki skuter maticnya tiba-tiba ditabrak mobil pengangkut barang dari belakang. Kejadian itu begitu cepat. Dan darah membasahi jilbab putihnya. Dinda langsung dibawa ke rumah sakit. Ia pendarahan cukup parah. Empat hari berlalu dan kondisi kesehatan Dinda membaik serta sudah bisa diajak berkomunikasi. Di rumah sakit aku yang menjaganya dan ia selalu kuajak bercanda agar terhibur. Namun sungguh Maha Kuasa Allah, di saat yang tak bisa diperkirakan manusia, Allah mengambil Dinda dalam kondisi kesehatan yang tengah membaik. Tidak ada tanda-tanda, Dinda meninggal begitu saja. Sangat indah, sangat nyaman dengan mewariskan sebuah senyuman.








Kembali air mataku menetes. Senja ini aku jadi sangat rindu dengan Dinda. Aku seperti mengingat semua kejadian yang kualami bersama adikku. Disini semuanya seakan hidup kembali. Ya, semuanya hidup kembali. Ah, kini pastilah Dinda tengah tersenyum bahagia disana. Di tempat terindah yang penuh dengan kenikmatan.


Kutaruh diary itu di atas meja. Aku ingin kembali ke depan jendela. Namun seketika pandanganku menatap ke arah kalender. Betapa terkejutnya aku, ternyata hari ini adalah tanggal 17 September...


Sumber terkait : Klik sini sini ^^